Sebagaimana yang telah dipahami bahwa aktivitas seorang ahli filsafat atau filsuf adalah berpikir. Berpikir tentang apa saja dan dimana saja. Fisikawan teoretis dan matematikawan membutuhkan pensil dan kertas, namun kebutuhan mendasar bagi filsuf adalah segala sesuatu yang mendukung untuk berpikir, entah itu bantal atau sofa yang empuk.
Ketika seorang filsuf sedang berpikir maka yang ada di dalam kepalanya adalah pertanyaan yang ditujukan kepada dirinya sendiri. Ketika ia memperoleh jawabannya maka jawaban tersebut akan dikritik, disanggah dan dipertanyakan kembali. Dalam hal ini, terjadi proses bertanya dan menjawab terus-menerus sampai didapat jawaban yang menyakinkan, jawaban yang fundamental.
Dari sini dapat dipahami bahwa jika seseorang mempertanyakan sesuatu secara terus-menerus sampai ke akar-akarnya maka sesungguhnya ia adalah filsuf. Jadi filsuf bukanlah seseorang yang menghapal banyak pendapat-pendapat, melainkan mereka yang mudah meragukan dan mempertanyakan sesuatu walaupun sesuatu itu terlarang untuk dipertanyakan bagi sebagian besar orang.
Ketika seseorang mempertanyakan apa saya maka sesungguhnya ia sedang berfilsafat. Misal, ketika seseorang ditolak oleh seorang wanita yang dicintainya maka mungkin ia akan bertanya dalam hati, "kenapa ia menolakku?", "apa yang kurang dariku?", "apakah karena aku jelek?", "apa itu jelek?", "apa karena alasan itu atau ada alasan lain?", "apa ada laki-laki lain yang dia cintai?". Semua pertanyaan-pertanyaan itu menandakan bahwa orang tersebut sedang berfilsafat.
Pada hakikatnya, semua manusia adalah filsuf secara alami. Hal ini bisa dilihat pada anak kecil. Anak kecil cenderung mempertanyakan apa saja yang bisa membuat orang tuanya kewalahan. Bagi anak kecil, segala sesuatu dalam hidup ini adalah masalah, sebuah teka-teki, sesuatu yang perlu dipertanyakan, sesuatu yang perlu dipahami. Anak kecil akan mempertanyakan, "apa ini?", "apa itu?", "kenapa begitu?". Bahkan ketika dilarang untuk bertanya, ia akan mengatakan, "kenapa tidak boleh?". Jika orang orang tuanya mengatakan, "karena kamu masih kecil?". Anak itu mungkin akan bertanya lagi, "kenapa anak kecil tidak boleh tapi orang dewasa boleh?". "pokoknya tidak boleh?" jawab ibunya. "tapi kenapa tidak boleh?" tanya anak itu. "Jangan tanya lagi, titik!" kata ibunya. Jawaban ibunya, walaupun ia bermaksud baik, sebenarnya telah mematikan kecenderungan filosofis dalam diri anaknya.
Yang terjadi selanjutnya adalah proses pembiasaan yang terjadi terus-menerus. Keinginan untuk mencari kebenaran telah hilang. Anak diajari untuk menerima segala sesuatu tanpa mempertanyakan alasannya. Ibunya atau orang-orang di sekelilingnya telah menghilangkan sikap filsuf sang anak. Mulai saat itu, hidup bagi sang anak adalah tanda seru, bukan lagi tanda tanya.
Sekian postingan kali ini. Semoga bermanfaat!