Jumat, 30 September 2016

Menampilkan Teks Apa Adanya dengan Mode Verbatim di Latex


Salah satu masalah yang pernah saya alami saat masih berstatus pemula Latex adalah sulitnya menampilkan teks apa adanya dalam dokumen.  Saat itu, saya menulis artikel mengenai perintah-perintah dasar Latex dengan menggunakan Latex. Saya kesulitan menampilkan perintah Latex di dokumen. Penyebab masalah ini adalah script yang mengandung perintah-perintah Latex selalu diproses oleh Latex ketika di compile. Mari kita perhatikan sejenak script Latex di bawah ini:

\begin{center} 
\textbf{Teks ini seharusnya tebal} \\ 
\textcolor{red}{Teks ini seharusnya berwarna merah} 
\end{center}

Jika script di atas di-compile ke bentuk PDF (Portable Document Format) maka hasilnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:


Setelah mencari ke sana kemari, seorang teman menjelaskan bahwa Latex menyediakan mode verbatim untuk mengatasi masalah saya. Teks yang akan ditampilkan apa adanya harus dimulai dengan \begin{verbatim} dan diakhiri dengan \end{verbatim}.

Semua teks yang berada di antara kedua tanda tersebut akan ditampilkan apa adanya walaupun memuat perintah-perintah Latex.

Ok, kita langsung saja praktek. Perhatikan script di bawah ini:

\begin{verbatim} 
\begin{center} 
\textbf{Teks ini seharusnya tebal} \\ 
\textcolor{red}{Teks ini seharusnya berwarna merah} 
Teks ini berada dalam mode verbatim 


\end{center} 
\end{verbatim}

Jika script di atas di-compile ke bentuk PDF maka hasilnya akan seperti berikut ini:


Demikian postingan kali ini. Jika ada yang kurang jelas, silakan bertanya di kolom komentar. Semoga postingan ini bermanfaat bagi anda!

Memasukkan Gambar ke dalam Dokumen Menggunakan Latex



Latex memungkinkan kita memasukkan gambar ke dalam dokumen. Jika kita ingin memasukkan gambar ke dalam dokumen maka perlu dideklarasikan penggunaan paket graphicx pada bagian preambule dengan perintah sebagai berikut:

\usepackage{graphicx}

Tempatkan gambar yang ingin dimasukkan pada direktori/folder yang sama dengan dokumen Latex. Misalkan kita ingin memasukkan gambar dengan nama logo-unhas.jpg maka script-nya adalah sebagai berikut:

\begin{figure}[h] 
\begin{center} 
\includegraphics[scale=0.5]{logo-unhas.jpg} 
\caption{Logo Universitas Hasanuddin} 
\label{unhas} 
\end{center} 
\end{figure}

Jika script di atas di-compile ke dalam bentuk PDF (Portable Document Format) maka hasilnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:



Penjelasan


Huruf dalam kurung siku pada \begin{figure}[h] berfungsi sebagai pengatur posisi gambar dalam suatu halaman. Huruf-huruf yang dapat dimasukkan ke dalam kurung siku adalah sebagai berikut:
h (here) Gambar diletakkan tepat di tempat perintah tersebut diletakkan. Jika keadaan tidak menungkinkan (ruang tidak cukup) maka gambar akan diletakkan pada halaman selanjutnya.
t (top) Gambar diletakkan di bagian atas halaman.
b (botton) Gambar diletakkan di bagian bawah halaman.
p (page) Gambar diletakkan pada halaman tersendiri.
Perintah \begin{center} dan \end{center} dimaksudkan untuk menentukan posisi gambar terhadap tepi dokumen, dalam hal ini gambar rata tengah (center). Nilai center dapat anda ganti dengan flushleft (rata kiri) atau flushright (rata kanan) sesuai kebutuhan. Perintah yang terdapat dalam kurung siku pada \includegraphics[scale=0.5]{logo-unhas.jpg} berfungsi untuk menentukan skala gambar terhadap ukuran aslinya. Jika anda ingin agar gambar yang ditampilkan di dalam dokumen memiliki ukuran yang sama dengan aslinya maka ganti 0.5 dengan 1. Anda juga bisa mengganti perintah scale dengan width dan height untuk menentukan lebar dan tinggi gambar. Misalnya anda ingin memasukkan gambar dengan ukuran lebar = 3 cm dan tinggi = 4 cm maka scriptnya adalah sebagai berikut:

\includegraphics[width=3cm, height=4cm]{logo-unhas.jpg}

Namun, perlu diingat bahwa menggunakan perintah width dan height secara bersamaan dapat mengakibatkan gambar terlihat tidak proporsional. Gunakan saja salah satunya supaya gambar yang ditampilkan tetap proporsional. Misalnya anda hanya menggunakan perintah width dengan nilai 3cm maka Latex akan menyesuaikan tingginya agar tetap proporsional dengan lebar gambar.

Perintah \caption{Logo Universitas Hasanuddin} digunakan untuk memberi keterangan pada gambar. Latex memberi nomor gambar pada bagian keterangan secara otomatis (misalnya : Figure 1 ... ).

Nomor suatu gambar dapat berubah secara otomatis jika gambar baru dimasukkan dengan posisi sebelum gambar tersebut. Hal ini akan menyusahkan dalam pembuatan rujukan ke gambar dalam dokumen. Untuk mengatasi masalah ini maka keyword dalam label sangat dibutuhkan saat membuat rujukan ke gambar yang bersangkutan. Untuk membuat rujukan ke gambar maka gunakanlah perintah \ref. Contoh:

Logo Universitas Hasanuddin dapat dilihat pada gambar \ref {unhas}.

Jika nomor gambar logo Unhas di dalam dokumen adalah 1 maka output dari script di atas adalah sebagai berikut:
Logo Universitas Hasanuddin dapat dilihat pada gambar 1.
Demikian postingan kali ini. Jika ada yang kurang jelas, mohon ditanyakan di kolom komentar! Semoga bermanfaat.

Senin, 26 September 2016

Bahasa Bugis : Dulu dan Sekarang

Bulan lalu saya KKN di Desa Ajubissue, Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Salah satu hal yang saya sukai dari desa ini adalah banyaknya koleksi buku di perpustakaan desa. Bahkan saya menemukan sebuah buku yang berjudul "Sejarah Kerajaan Tanah Bone" yang ditulis oleh Andi Palloge. Buku yang tidak pernah saya temui di perpustakaan desaku di Bone, tanah kelahiranku. Saya segera meminjam buku ini dan membawanya ke posko. Sampul bukunya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.



Ada yang aneh ketika saya membaca kutipan-kutipan dari lontara yang terdapat di dalam buku ini. Ada beberapa kata yang tidak saya pahami dan tidak pernah saya dengar diucapkan oleh masyarakat Bugis di kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Padahal Lontara tersebut bercerita tentang sejarah Bone, ditulis oleh orang Bone dan saya sendiri sebagai pembaca adalah orang Bone yang lahir dan besar di Bone. Ini dia salah satu kutipan yang saya baca:
"Iyana kilaowang lao riko La Marupe', amaseang nakeng, aja'na muallajang. Mutudang ri tanamu na ikona puatakkeng. Elomu elo rikkeng. Na passuromuna kiyolai, kipogau', angikko kiraokkaju, tiakkommiring riakkeng mutappalireng. Ellauko kiabbere, olliko kisawe, attampako kilao. Namua ana'meng bainemmeng na pattarokkeng muteaiwi kiteai towisia. Narekko monromuno mai rini, naikona kipopuang."
Kutipan di atas merupakan pernyataan masyarakat Bone di masa lalu ketika meminta Baginda Mata Silompoe Manurungnge ri Matajang (Raja Bone Pertama) supaya berkenang manjadi Mangkau (Raja) di Bone. Saya harus membaca terjemahan yang ada di buku baru saya mengerti makna kutipan di atas. Adapun terjemahannya adalah sebagai berikut:
"Adapun kedatangan kami kepadamu, wahai La Marupe (Istilah untuk sesuatu yang ditakuti), adalah mendapat limpahan belas kasihan, jangalah engkau menghilang. Duduklah di tanah (kekuasaan)mu dan engkaulah tuan kami. Kehendakmu adalah kehendak kami. Perintahmu akan kami patuhi, kami laksanakan. Engkau adalah angin sedangkan kami hanya dedaunan. Engkau bertiup ke arah kami dan mengarahkan kami. Mintalah maka kami akan memberi, panggillah maka kami akan menyahut, undanglah kami maka kami akan datang. Walaupun yang engkau tidak sukai adalah istri-istri, anak-anak dan kesukaan kami maka kami pun tidak akan menyukainya. Jika engkau bersedia menetap di sini maka engkaulah yang kami pertuan."
Dalam masyarakat Bone saat ini sudah tidak dikenal kata ganti orang pertama jamak (kami) dengan struktur seperti yang terdapat dalam kutipan di atas. Namun, kutipan di atas berisi kata ganti orang pertama jamak dengan struktur yang aneh seperti:
  1. Bainemmeng (istri-istri kami)
  2. Puattakkeng (Tuan kami)
Dalam bahasa Bugis yang digunakan di Bone saat ini, kedua contoh di atas akan berubah menjadi:
  1. Pada baineku'
  2. Pada Puakku'
Kesimpulan saya dari kasus ini adalah:
  1. Tata bahasa Bugis yang digunakan  masyarakat Bone di zaman dahulu tidak sama dengan tata bahasa Bugis yang digunakan oleh masyarakat Bone di zaman sekarang.
  2. Banyak kata-kata dalam lontara yang sudah tidak digunakan saat ini. Contoh: kisawe (kami menyahut).
Kedua hal di atas akan menyebabkan orang-orang Bugis saat ini kewalahan dalam memahami isi lontara yang diwariskan oleh leluhur mereka walaupun mereka sangat lancar membaca huruf-huruf lontara. Bahkan ada orang yang beranggapan bahwa Lontara I La Galigo tidak menggunakan bahasa Bugis lantaran dia sebagai orang Bugis tidak memahami maknanya ketika membacanya.

Sekarang ini bahasa Bugis sudah banyak dipengaruhi oleh bahasa Indonesia yang menjadi bahasa persatuan di Negara Indonesia yang tercinta. Hal ini merupakan suatu hal yang alamiah dan telah terjadi pada banyak bahasa di dunia. Sekarang masyarakat Bugis di daerah Bone, ketika mengucapkan kata "menonton” dalam bahasa Bugis, mereka menggunakan kata manontong. Kata tersebut merupakan kata serapan dari Bahasa Indonesia yaitu "menonton”. Sebenarnya hal ini dapat dimaklumi jika dalam Bahasa Bugis tidak terdapat terjemahan dari kata menonton, tapi ternyata ada, hanya kita yang malas menggunakannya. Orang-orang dulu menggunakan kata makkita-ita untuk kata menonton, tapi sekarang kata tersebut tidak pernah terdengar terucapkan oleh orang-orang yang sedang berkomunikasi dalam Bahasa Bugis di daerah kelahiran saya, Kota Beradat Watampone.

Jika tidak ada daya upaya dalam melestarikan bahasa Bugis maka suatu saat semua kata dalam bahasa Bugis akan tergantikan oleh kata-kata serapan dari bahasa Indonesia. Salah satu cara untuk melestarikan bahasa Bugis adalah dengan membuat kamus Bahasa Bugis sehingnga kata yang sudah jarang digunakan dalam berkomunikasi dapat terselamatkan. Akan tetapi cara ini tidak sepenuhnya memberikan solusi terhadap semua masalah yang dihadapi.

Salah satu masalah yang di hadapi oleh bahasa Bugis sebagai bahasa daerah yang paling banyak penuturnya di Sulawesi Selatan adalah kurangnya minat generasi mudah untuk mendalami dan melestarikan bahasa Bugis. Bagi sebagian besar generasi mudah, bahasa Bugis hanya dipandang sebagai bahasa ibu. Mereka lupa bahwa bahasa Bugis adalah pusaka, kehormatan, identitas, filosofi, dan seni bagi masyarakat Bugis. Mereka lupa bahwa Sure I La Galigo sebagai puisi epik terpanjang di dunia tertulis dalam aksara Lontara dan bahasa Bugis.

Jika anda berminat mempelajari bahasa Bugis dengan cara mendengarkan langsung pengucapannya dari penutur aslinya disertai artinya, silakan kunjungi channel Gantolle Cella di Youtube, atau anda bisa langsung menonton beberapa videonya berikut ini.

⇛ 40 Pertanyaan yang Umum Digunakan dalam Bahasa Bahasa Bugis:


⇛ 25 Nama Binatang dan Artinya:


Demikian, semoga bermanfaat!

Tidak dapat menjalankan perintah sudo di Terminal Fedora


Postingan kali ini membahas mengenai masalah yang biasa didapati oleh teman-teman saya yang baru menggunakan Linux. Seorang teman pernah mengadukan masalahnya saat tidak dapat menjalankan perintah sudo di terminal Fedora. Hal ini dikarenakan tipe akun tidak disetting sebagai administrator saat proses instalasi.

Ok, kita langsung saja ke TKP. Ada dua cara untuk mengatasi masalah ini, yaitu:

  1. Mengedit file sudoers dalam direktori etc
  2. Mengaktifkan mode administrator melalui System Settings

File sudoers dapat diedit dengan mengikuti langkah-langkah berikut:

  • Buka Terminal
  • Masuk ke mode superuser dengan perintah su
  • Buka file sudoers dengan menjalankan perintah berikut:
gedit /etc/sudoers
  • Di dalam file sudoers, anda akan melihat kode seperti di bawah:
ROOT All=(ALL) ALL
  • Jika sudah ketemu, tambahkan baris dibawah ini tepat di bawah kode di atas dengan mengganti namauser dengan username anda:
namauser ALL=(ALL) ALL
  • Simpan perubahan lalu restart komputer.

Jika anda belum terbiasa berhadapan dengan baris-baris kode seperti di atas maka gunakan cara kedua, yaitu:

  • Masuk ke System Settings
  • Pada bagian Sistems, klik User Accounts
  • Ubah Account Type menjadi Administrator
  • Keluar kemudian restart komputer

Semoga bermanfaat!